Rabu, 06 Januari 2016

PELAGGARAN ETIKA OLEH SEORANG AUDITOR (CHAPTER 2)

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah PT. METRO BATAVIA ( BATAVIA AIR )
Batavia Air (Nama Resmi: PT. Metro Batavia) adalah sebuah maskapai penerbangan di Indonesia. Batavia Air mulai beroperasi pada tanggal 5 januari 2002, memulai dengan 1 buah pesawat fokker F28 dan dua buah Boeing 2737-200.
Setelah berbagai insiden dan kecelakaan menimpa maskapai-maskapai penerbangan di indonesia, pemerintah Indonesia membuat pemeringkatan atas maskapai-maskapai tersebut. Dari hasil pemeringkatan yang diumumkan pada 22 Maret 2007, Batavia Air berada diperingkat III yang berarti hanya memenuhi syarat minimal keselamatan dan masih ada beberapa persyaratan yang belum dilaksanakan dan berpotensi mengurangi tingkat keselamatan penerbangan. Akibatnya Batavia Air mendapat sanksi administratif yang akan di-review kembali setiap 3 bulan. Bila tidak ada perbaikan kinerja maka izin operasi penerbangan dapat di bekukan sewaktu-waktu.
Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Bagus Irawan, menyatakan berdasarkan putusan Nomor 77 mengenai pailit,  PT Metro Batavia (Batavia Air) dinyatakan pailit. “Yang menarik dari persidangan ini, Batavia mengaku tidak bisa membayar utang,” ujarnya, seusai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 30 Januari 2013.
Ia menjelaskan, Batavia Air mengatakan tidak bisa membayar utang karena “force majeur”. Batavia Air menyewa pesawat Airbus dari International Lease Finance Corporation (ILFC) untuk angkutan haji. Namun, Batavia Air kemudian tidak memenuhi persyaratan untuk mengikuti tender yang dilakukan pemerintah.
Gugatan yang diajukan ILFC bernilai US$ 4,68 juta, yang jatuh tempo pada 13 Desember 2012. Karena Batavia Air tidak melakukan pembayaran, maka ILFC mengajukan somasi atau peringatan. Namun akrena maskapai itu tetap tidak bisa membayar utangnya, maka ILFC mengajukan gugatan pailit kepada Batavia Air di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pesawat yang sudah disewa pun menganggur dan tidak dapat dioperasikan untuk menutup utang.
Seharusnya, kata Bagus, kuasa hukum Batavia Air harusnya mengajukan “counter” agar tidak dipailitkan dalam lima hari setelah ada gugatan pailit. “Karena itu tidak dilakukan oleh Batavia, maka kita mau tidak mau menyidangkan perkara pailit,” ujarnya.
Ia pun menjelaskan, dari bukti-bukti yang diajukan ILFC sebagai pemohon, ditemukan bukti adanya utang oleh Batavia Air. Sehingga sesuai aturan normatif, pengadilan menjatuhkan putusan pailit. Ada beberapa pertimbangan pengadilan. Pertimbangan-pertimbangan itu adalah adanya bukti utang, tidak adanya pembayaran utang, serta adanya kreditur lain. Dari semua unsur tersebut, maka ketentuan pada pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan terpenuhi.
Jika menggunakan dalil “force majeur” untuk tidak membayar utang, Batavia Air harus bisa menyebutkan adanya syarat-syarat kondisi itu dalam perjanjian. Namun Batavia Air tidak dapat membuktikannya. Batavia Air pun diberi kesempatan untuk kasasi selama 8 hari. “Kalau tidak mengajukan, maka pailit tetap,” ujarnya.
Kegiatan operasional Batavia Air kemudian akan dialihkan kepada kurator. Batavia Air sempat disebut-sebut menolak dicabutnya gugatan pailit itu. Hal tersebut menjadi tanda tanya bagi pengadilan. “Mengapa mereka menolak untuk dicabut?” ujarnya.
Menurut Bagus, Batavia Air pasrah dengan kondisi ini. Artinya, kata dia, Batavia Air sudah menghitung secara finansial jumlah modal dan utang yang dimiliki. Ia pun menuturkan, dengan dipailitkan, maka direksi Batavia Air tidak bisa berkecimpung lagi di dunia penerbangan.

2.2 KASUS PAILIT PT. METRO BATAVIA ( BATAVIA AIR )
Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Bagus Irawan, menyatakan berdasarkan putusan Nomor 77 mengenai pailit,  PT Metro Batavia (Batavia Air) dinyatakan pailit. “Yang menarik dari persidangan ini, Batavia mengaku tidak bisa membayar utang,” ujarnya, seusai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 30 Januari 2013.
Ia menjelaskan, Batavia Air mengatakan tidak bisa membayar utang karena “force majeur”. Batavia Air menyewa pesawat Airbus dari International Lease Finance Corporation (ILFC) untuk angkutan haji. Namun, Batavia Air kemudian tidak memenuhi persyaratan untuk mengikuti tender yang dilakukan pemerintah.
Gugatan yang diajukan ILFC bernilai US$ 4,68juta, yang jatuh tempo pada 13 Desember 2012. Karena Batavia Air tidak melakukan pembayaran, maka ILFC mengajukan somasi atau peringatan. Namun karena maskapai itu tetap tidak bisa membayar utangnya, maka ILFC mengajukan gugatan pailit kepada Batavia Air di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pesawat yang sudah disewa pun menganggur dan tidak dapat dioperasikan untuk menutup utang.
Dari bukti-bukti yang diajukan ILFC sebagai pemohon, ditemukan bukti dan utang oleh  Batavia Air. Sehingga sesuai aturan normatif, pengadilan menjatuhkan putusan pailit. Ada beberapa pertimbangan pengadilan. Pertimbangan-pertimbangan itu adalah adanya bukti utang, tidak adanya pembayaran utang, serta adanya kreditur lain. Dari semua unsure tersebut, maka ketentuan pada pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan terpenuhi.
Jika menggunakan dalil “force majeur” untuk tidak membayar utang, Batavia Air harus bisa menyebutkan adanya syarat-syarat kondisi itu dalam perjanjian. Namun Batavia Air tidak dapat membuktikannya. Batavia Air pun diberi kesempatan untuk kasasi selama 8 hari. “Kalau tidakmengajukan, maka pailit tetap,”
Batavia Air pasrah dengan kondisi ini. Artinya, kata dia, Batavia Air sudah menghitung secarafinansial jumlah modal dan utang yang dimiliki. Ia pun menuturkan, dengan dipailitkan, maka direksi Batavia Air tidak bisa berkecimpung lagi di dunia penerbangan.
Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Herry Bakti meminta pada Batavia Air untuk memberikan informasi pada seluruh calon penumpang yang sudah  membeli tiket. Agar informasi ini menyebar secara menyeluruh, Batavia Air diharus siaga di bandara seluruh Indonesia, Kamis (31/1).
“Kepada Batavia Air kami minta besok mereka untuk standby di lapangan Bandara di seluruh Indonesia? Untuk member penjelasan dan menangani penumpang-penumpang itu. Jadi kami minta mereka untuk stay di sana,” ujar Herry saat mengelar jumpa pers di kantornya, Jakarta, Rabu malam (30/1).
Herry mengatakan pemberitahuan ini sudah disampaikan kepada Batavia Air. “Kami sudah kirim informasi ini kebandara-bandara yang ada untuk melakukan antisipasi besok di bandara (31/1),” imbuh Herry.
Menurut Herry, meskipun pangsa pasar Batavia Air tidak banyak tapi menurut siaga di bandara itu perlu dilakukan untuk mengantisipasi kebingungan pelanggan serta meminimalisir tudingan-tudingan bahwa pihak Batavia tidak bertanggungjawab.
Pailit atau mengalami kebangkrutan yang terjadi pada Batavia Air disebabkan karena manajemen perusahaan yang tidak handal. Manajamen yang tidak kompeten untuk mengurusi perusahaan dengan benar hanya akan membuat dampak yang negatif bagi perusahaan.
Dari kasus pailitnya Batavia Air dapat dipahami bahwa ada celah pemasukan dan pengeluaran serta bias akan potensi bisnis bahwa semua itu tidak pasti. Oleh karena itu, pemanfaatan celah pasar yang diharapkan oleh pihak manajemen Batavia Air tidak berjalan sesuai rencana. 
Kepailitan, sesuai dengan pasal 1 ayat (1) UU No. 37 tahun 2004, adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Pengadilan yang berwenang dalam proses kepailitan suatu perusahaan adalah Pengadilan Niaga. Menurut UU No. 37 tahun 2004 pasal 2, pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit yaitu:
  1. Debitur atau kreditur
  2. Kejaksaan
  3. Bank Indonesia, apabila debiturnya adalah Bank
  4. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), apabila debiturnya adalah perusahaan efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
  5. Menteri Keuangan, apabila debiturnya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, Dana Pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik.
Suatu permohonan pailit yang diajukan oleh pihak-pihak diatas harus memenuhi persyaratan yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) yaitu adanya utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, dan adanya dua atau lebih kreditur. Dalam kepailitan, ada tiga jenis kreditur, yaitu:
  1. Kreditur separatis, yaitu kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, yang dapat bertindak sendiri. Golongan kreditur ini tidak terkena akibat putusan pernyataan pailit, artinya hak-hak eksekusi mereka tetap dapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan debitur. Kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, dan hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya merupakan karakteristik kreditur separatis,
  2. Kreditur preferen, yaitu kreditur yang memiliki hak istimewa atau hak prioritas. Hak istimewa mengandung makna “hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya.
  3. Kreditur konkuren, yaitu kreditur yang harus berbagi dengan para kreditur lainnya secara proporsional (pari passu), yaitu menurut perbandingan besarnya masing-masing tagihan, dari hasil penjualan harta kekayaan debitur yang tidak dibebani dengan hak jaminan.
Pembayaran utang dengan prioritas paling utama adalah pembayaran utang kepada kreditur separatis. Lalu, prioritas kedua adalah kepada kreditur preferan, dan yang terakhir adalah kepada kreditur konkruen.
Suatu kepailitan tidak terjadi dalam suatu tahap yang mudah dan cepat, tetapi melalui beberapa proses yang cukup panjang. Berikut adalah suatu proses kepailitan suatu debitur:
  1. Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Pengadilan Niaga melalui panitera pengadilan oleh penasehat hukum terdaftar,
  2. Dilakukan penyitaan umum (sita jaminan) atas kekayaan debitur untuk menjamin piutang kreditur,
  3. Setelah pernyataan pailit ditetapkan, ditunjuk hakim pengawas dan kurator (pengurus dan pelaksana kepailitan),
  4. Setelah itu diadakan rapat verifikasi (pencocokan dan klarifikasi piutang) yang melibatkan hakim pengawas, kurator, kreditur terkait, dan debitur,
  5. Jika usul perdamaian debitur diterima (homologasi), kepailitan berakhir dan sisa tagihan yang belum terbayar tidak dapat ditagih lagi,
  6. Jika usul perdamaian ditolak, Pengadilan Niaga sekaligus menetapkan putusan pailit debitur dan kekayaan debitur berada dalam keadaan insolvensi (debitur tidak mampu membayar utangnya dan kekayaannya menjadi harta pailit),
  7. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari sejak putusan pailit ditetapkan, kurator harus mengumumnkannya dalam Berita Ngera RI dan dua surat kabar yang ditetapkan oleh hakim pengawas,
  8. Jika pihak terkait tidak mengusulkan kurator tertentu, Balai Harta Peninggalan (BHP) bertindak sebagai kurator dalm proses kepailitan
  9. Untuk kepentingan harta pailit, dapat dimintakan pembatalan perbuatan debitur sebelum putusan pailit, yang merugikan kepentingan kreditur,
  10. Apabila piutang kreditur tidak cukup terbayar, untuk sisanya, status kreditur separatis berubah menjadi kreditur konkruen,
  11. Terhadap putusan pailit dapat diajukan langsung kasasi ke Mahkamah Agung dan permohonan peninjauan kembali (PK) apabila memenuhi syarat.

SUMBER:
https://pralitaputrinoviari.wordpress.com/2015/11/24/pelaggaran-etika-olehn-seorang-auditor-chapter-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar