BAB 3
ANALISIS
3.1 Kronologi Kepailitan Batavia Air
A. Peristiwa menjelang pailitnya Batavia Air
Utang ini bermula dari keinginan Batavia Air untuk mengikuti tender pelayanan haji dengan menyewa (leasing) dua pesawat Airbus A330 dari ILFC. Namun, dari total kontrak leasing selama 9 tahun, sudah 3 tahun berturut-turut Batavia Air kalah tender di Kementerian Agama untuk mengangkut jemaah haji. Dalam gugatan ILFC, Batavia Air memiliki tagihan sebesar USD 440rb di tahun pertama, USD 470rb di tahun kedua, USD 500rb di tahun ketiga dan ke empat, dan USD 520rb di tahun kelima dan keenam. Keseluruhan utang dari ILFC sebesar USD 4,68 juta ini memiliki tanggal jatuh tempo di 13 Desember 2012. Selain gugatan dari ILFC, Batavia Air juga memiliki utang sebesar USD 4,94 juta kepada Sierra Leasing Limited yang jatuh tempo di 13 Desember 2012 juga. Analisa dari OSK Research Sdn Bhd di bulan Oktober 2012 memperkirakan total utang Batavia Air sebesar USD 40juta. Sebagai perusahaan swasta (private corporation) Batavia Air juga tidak memiliki kewajiban untuk memberikan laporan keuangan nya secara publik, sehingga dalam hal ini juga sulit untuk memberikan menyimpulkan kondisi keuangan Batavia Air.
Menurut Dudi Sudibyo, permasalahan ini diperparah dengan ketidak pedulian Batavia Air dalam mendayagunakan kedua pesawat A330 ini untuk melayani rute-rute lain selama menganggur. Barangkali yang juga kurang dipublikasikan di media cetak adalah adanya kenaikan persyaratan deposit Travel Agent di Batavia Air per bulan April 2012. Persyaratan minimum deposit yang sebelumnya sebesar 7.500.000, diubah menjadi minimum 15.000.000 rupiah. Kenaikan deposit ini hanya ditunjang dengan alasan untuk mengurangi “ribet” nya administrasi penambahan deposit.
Di bulan Oktober 2012, Air Asia telah mengajukan rencana untuk mengakuisisi Batavia Air senilai USD 80juta. Rencana akuisisi ini menjadi polemik yang cukup populer di Indonesia karena kekuatiran akan masuk nya pihak luar ke dalam industri penerbagan Nusantara. Namun tidak lama berselang, rencana tersebut kandas dengan keputusan Air Asia untuk membatalkan transaksi tersebut dikarenakan “risiko bisnis dan penurunan pendapatan”.
Menurut Dirjen Perhubungan Udara, Herry Bakti, seusai gagal nya akuisisi Batavia Air oleh Air Asia, rute Batavia Air telah berkurang secara drastis, yang awal nya 64 rute, menjadi 44 rute saja. Namun di tengah pengurangan rute ini, airlines domestik lain malah memperlihatkan penambahan rute yang cukup signifikan, terutama Air Asia, yang mulai merambah ke rute-rute strategis Batavia Air, seperti Semarang-Singapura yang sebelumnya hanya dilayani oleh Batavia Air.
Di penghujung akhir Januari 2013, Batavia Air mulai mengalami penurunan secara drastis, terutama diakibatkan oleh tuntutan pailit oleh ILFC. Kepercayaan calon penumpang pun mulai berkurang, banyak penumpang kuatir akan terulang nya peristiwa tutup nya Adam Air dan Mandala Air. Dalam penutupan dua airlines tersebut, tiket yang sudah dibeli oleh penumpang banyak yg hilang tanpa pengembalian uang. Beberapa hoax messages pun juga banyak beredar di BBM, terutama yang menyangkut akan segera ditutup nya Batavia Air oleh Dirjen Perhubungan.
Tepat sehari menjelang keluarnya putusan pailit oleh pengadilan negeri Jaksel (30 Jan 2013), sempat terjadi pengajuan pencabutan gugatan pailit oleh ILFC. Namun pengajuan pembatalan ini telah ditolak langsung oleh Batavia Air dikarenakan Batavia Air sudah merasakan dampak penurunan kepercayaan publik secara drastis. Batavia Air pun mengakui semua utang-utangnya tersebut. Dengan penolakan ini maka putusan pengadilan negeri Jaksel berlanjut menjadi pailit bagi Batavia Air.
Faktor – faktor yang mungkin penyebab pailitnya Batavia Air, yakni :
1. Sense of crisis
Alasan pertama dari sense of crisis yakni pihak manajerial tidak mampu memahami bahwa kondisi bisnis saat ini tidak pasti, oleh karena itu kepekaan dan ketanggapan bisnis perlu diperhatikan. Dalam aplikasi penggunaan utang sebagai sumber pendanaan maka langkah pertama yang harus ditelaah secara mendalam adalah kemampuan dan kondisi pemasukan bisnis. Sampai di sini dapat ditarik benang merah bahwa sense of crisis perlu mendapatkan perhatian serius dari perusahaan-perusahaan yang berkeinginan bertahan pada kondisi persaingan yang tajam serta penuh ketidakpastian. Lanjut bahwa apabila perusahaan memiliki sense of crisis maka pihak manajerial perusahaan dapat bersikap dengan tepat sebelum bahaya itu terjadi. Dalam kasus Batavia Air, sudah terjadi goncangan barulah mulai memikirkan solusi untuk menyelesaikannya. Tentu saja hal tersebut terlambat dan berakhir dengan pailit.
2. GCG
Seperti yang di ketahui bahwa penerapan tata kelola perusahaan yang baik saat ini tidak dapat diabaikan seperti waktu-waktu sebelumnya dan memang hal itu benar adanya karena melalui tata kelola yang baiklah akan memudahkan proses operasionalisasi dan perbaikan secara kontinyu. Dalam konteks pailitnya Batavia Air perlu mendapatkan perhatian untuk meningkatkan tata kelola perusahaan yang baik.
3. Lemahnya analis C/B
Analisis cost benefit sangat penting ketika suatu perusahaan hendak membuat keputusan menggunakan utang sebagai sumber pendanaan. Karena dari analisis C/B inilah akan membantu memahami kondisi perusahaan dengan lebih baik. Dalam arti akan membuka cakrawala kekuatan melunasi utang serta bagaimana keuntungan lainnya apabila mau menggunakan utang. Dalam konteks Batavia Air ada indikasi bahwa analisis C/B belumlah dilakukan sepenuhnya sehingga analisis utang diabaikan dan mengalami utang yang berlebihan, atau dengan kata lain mengalami kekurangan kemampuan melunasi utang.
4. Harga
Harga memang sangat peka oleh konsumen, karena konsumen cenderung lebih memilih harga yang murah. Dan hal itu memang normal karena lebih kecil jumlah uang untuk mendapatkan suatu barang maka akan semakin baik adanya. Hanya saja dalam konteks Batavia Air, untuk menunjang keberlangsungan arus kas masuk membutuhkan lebih dari hanya sekedar bersaing menggunakan harga sebagai ujung tombak. Dalam arti membutuhkan aspek lainnya selain harga guna memperkuat arus kas masuk sehingga laba ditahan pun dapat meningkat, dan apabila kondisi itu terus berlangsung akan meningkatkan kemampuan melunasi utang.
5. Penggunaan Sumber Pendanaan Berimbang
Maksudnya adalah bagaimana menggunakan sumber Pembiayaan atau kombinasi yang sehat dari dana internal dan dana ekternal. Kasus pailitnya Batavia Air mengindikasikan penggunaan utang yang berelbihan tanpa analisis yang mendalam. Oleh karena itu gunakan persentase dana internal dan eksternal yang bijak yang mana terindikasi dari tidak jangan menggunakan utang sebagai modal utama operasionalisasi. Memang benar bahwa ada juga perusahaan yang menggunakan utang sebagai sumber utama pendanaan yakni perusahaan – perusahaan yang berbisnis dalam bisnis perbankan.
B. Urutan peristiwa bangkrutnya Batavia Air :
- Tahun 2009 – Batavia ikut tender dalam proyek haji pemerintah, pihak Batavia telah menyewa dua unit AirBus dari ILFC seri A330 dengan nominal USD 440 ribu. Namun Batavia kalah tender AirBus di anggurkan & tidak melayani rute perjalanan lain.
- Tahun 2010 – Batavia mengikuti tender proyek haji lagi dan kalah lagi. Akhirnya menimbulkan penumpukan tagihan dari 2009/2010. Tagihan meningkat menjadi USD 470 ribu. Dan disini dapat di simpulkan bahwa Batavia belum membenahi manajemen dan pelayanannya sehingga pemerintah tidak mengambil maskapai ini.
- Tahun 2011 – Batavia mengikuti tender lagi dan lagi – lagi kalah pada tahun ini. Tagihan pun meningkat menjadi USD 500 ribu.
- Tahun 2012 – Air Asia mencoba mengakuisisi Batavia Air tapi penawaran tersebut menjadi polemik yang cukup popular di Indonesia karena kekhawatiran akan masuknya pihak luar ke dalam industri penerbangan Nusantara. Maka Air Asia membatalkan tawarannya karena alas an resiko dan penurunan pendapatan. Akibat gagaknya akuisisi tersebut Batavia Air mengalami penurunan rute penerbangan drastic dari 64 rute menjadi 44 rute saja.
- Tahun 2013 – Penghujung Januari 2013 Batavia dinyatakan bangkrut oleh Pengadilan Negeri Jakarta.
3.2 Proses penyelesaian pailit oleh kurator
Penyelesaian pailit Batavia Air telah diputuskan untuk diurus oleh empat kurator, antara lain Turman M Panggabean, Permata Nauli Daulay, Andra Reinhard Sirait, dan Alba Sumahadi. Kantor kurator bertempat di Ruko Cempaka Mas B-24, Jl. Letjen Suprapto, Jakarta Pusat.
Beberapa aktifitas yang sudah terjadwal ada sebagai berikut:
- 15 Feb 2013: Rapat Kreditur di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada pukul 09:00,
- 18 Feb 2013: Mengundang kreditur non-tiket dan agen untuk mengajukan tagihan kreditur dan pajak di Kantor Kurator,
- 18 Feb – 1 Maret 2013: Penumpang Batavia Air bisa muendaftarkan diri sebagai kreditur Batavia Air,
- 14 Maret 2013: Verifikasi dan pencocokan piutang di kantor Kurator.
Namun untuk para pemegang tiket calon penumpang, salah satu Kurator Batavia Air (Turman Panggabean) sudah menyatakan bawah penggantian tiket calon penumpang dapat dilakukan dengan syarat ada investor baru. Jadi sepertinya sudah pupus harapan bagi pemegang tiket untuk bisa mendapatkan uang refund atau pengembalian.
3.3 Undang-Undang yang di langgar oleh Batavia Air
Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan
- Pasal 4, hak konsumen adalah :
- Ayat 1 : “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”.
- Ayat 3 : “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”.
- Pasal 7, kewajiban pelaku usaha adalah :
- Ayat 2 : “memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”.
- Pasal 8
- Ayat 1 : “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/ataujasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyarat kandan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
- Ayat 4 : “Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dariperedaran”.
- Pasal 19
- Ayat 1 : “Pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”.
- Ayat 2: “Ganti rugi sebagai mana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
- Ayat 3 : “Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi”.
3.4 Akibat pailitnya Batavia Air bagi penumpang dan agen travel
Akibat putusan pailit Batavia, beberapa asosiasi travel agent sudah mencatatkan kerugian mencapai milliaran rupiah. Asosiasi Travel Agen Indonesia (Asita) Jakarta dengan anggota sekitar 1500 agen, memperkirakan dana deposit yang hilang mencapai 20 milliar rupiah. Sementara itu, Astindo Sulawesi Tengah mencatat kerugian uang deposit mencapai 500 juta rupiah.
Pasca penutupan Batavia Air, beberapa airlines telah menawarkan bantuan bagi penumpang Batavia Air dengan booking ulang secara cuma-cuma. Tiger Airways (dan Mandala Airlines) telah menawarkan rebooking gratis untuk rute-rute tertentu (CGK-SG, CGK-PKB, CGK-Padang, dan CGK-SUB). Express Air juga mengakomodir penumpang Batavia Air untuk rute Yogyakarta – Pontianak secara gratis.
3.5 Langkah kedepan untuk mencegah terulangnya Batavia Air
Escrow Account untuk deposit travel agent dan tiket yang belum terpakai. Dengan terjadinya kasus pailit Batavia Air, Astindo (Assosiasi Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan) mendesak Departemen Perhubungan untuk membuat peraturan baru dimana deposit travel agent dan deposit tiket yang belum terpakai untuk ditempatkan dalam escrow account atau akun penjaminan yang terpisah dari operasional perusahaan penerbangan. Sehingga dalam kasus-kasus pailit seperti Batavia Air, deposit tersebut dapat diamankan secara terpisah.
Proposal yang kedua adalah kerja sama dari Asosiasi Travel yang telah ada, antara lain Astindo, Asita, maupun assosiasi-assosiasi lain nya, untuk membuat sebuah “early detection system”. Early detection ini dapat menggunakan beberapa indikasi, antara lain: pengurangan rute penerbangan secara signifikan, utang yang mulai gagal bayar, analisa perbandingan uutang dengan aset perusahaan, dll. Dengan fasilitas seperti ini, iuran tahunan assosiasi-assosiasi yang terkadang berjumlah cukup besar menjadi lebih berguna.
3.6 Analisis Hukum / Yuridis
Proses pailit Batavia Air ini dilaksanakan atas suatu dasar hukum, yaitu UU No. 37 tahun 2004, yang mengatur tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Proses awal pailit dimulai dari permohonan pailit yang diajukan oleh ILFC. Permohonan ini telah memenuhi syarat dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 ayat (4) UU No. 37 tahun 2004, yaitu adanya utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, dan adanya kreditur lain. Karena itulah, permohonan ini ditindaklanjuti oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Lalu, proses pembuktian juga memiliki dasar hukum yang kuat, yaitu sesuai dengan pasal 164 HIR. Bukti tersebut yaitu berupa pengakuan yang dilontarkan oleh Batavia Air atas utang-utang yang dimilikinya.
Tak ada kemampuan Batavia dalam membayar utangnya disebabkan karena force majeur, yaitu kalah tender pelayanan transportasi ibadah haji dan umroh ini. Hal ini menjadi biang kerok tersendatnya pembayaran. Karena, pesawat yang disewa tersebut diperuntukkan melayani penumpang yang hendak melakukan ibadah haji dan umrah ke Mekah-Madinah. Sehingga, sumber pembayaran sewa pesawat berasal dari pelayanan penumpang yang melakukan ibadah haji dan umrah. Akan tetapi, dalil force majeur ini tidak dapat dibuktikan dan disetujui karena tidak tercantum dalam perjanjian utangnya dengan ILFC. Perjanjian ini merupakan dasar hukum bagi pelaksanaan utang piutang kedua pihak tersebut. Namun nyatanya, Batavia Air tidak dapat membuktikan dalil tersebut. Untuk itu, majelis hanya mempertimbangkan apa yang dapat dibuktikan saja.
Kepailitan Batavia Air juga memiliki dasar hukum yang kuat, yaitu surat putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No.77/pailit/2012/PN.NIAGA.JKT.PST tertanggal 30 Januari 2013.
SUMBER:
https://pralitaputrinoviari.wordpress.com/2015/11/24/pelaggaran-etika-olehn-seorang-auditor-chapter-3/