Rabu, 06 Januari 2016

PELANGGARAN ETIKA OLEH SEORANG AUDITOR (CHAPTER 4)

BAB 4
PENUTUP
4.1 Komentar
Proses pembuktian yang dilakukan terhadap Batavia Air terbilang mudah karena Batavia Air sendiri mengakui utang-utangnya tersebut. Akan tetapi, alasan Batavia Air tidak bisa membayar utang-utangnya karena force majeur ditolak oleh pengadilan. Lalu, ketika dilakukan verivikasi jumlah utang, terdapat perbedaan antara jumlah utang Batavia Air menurut ILFC dan SLL. Pada akhirnya, perbedaan jumlah utang tersebut tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit dikarenakan hakim hanya melihat fakta adanya pengakuan utang. Apabila nantinya terdapat perbedaan jumlah utang, maka dapat diselesaikan oleh kurator pada masa pencocokan utang.
Pemberhentian operasi Batavia Air ini menimbulkan tanda tanya dari berbagai pihak, salah satunya adalah situs hukumonline.com. Ketika ditanya hukumonline.com untuk belajar dari kasus Telkomsel agar tetap beroperasi, Raden Catur Wibowo, kuasa hukum Batavia Air, mengatakan bahwa kasus tersebut berbeda. Pasalnya, industri penerbangan tidak sama dengan industri telekomunikasi. Akibat dari permohonan pailit ini, semua pemilik pesawat telah menarik pesawat-pesawatnya, Alhasil, Batavia hanya memiliki 14 pesawat yang diberdayakan. “Dan itu sangat berat hanya mengoperasikan 14 pesawat. Kalau sudah ditarik, apa yang mau kita operasikan,” pungkas Catur usai persidangan.
Menurut Suharto Abdul Majid, Ketua Forum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), kepailitan Batavia Air dinilai mencurigakan. Ada dua poin penting mengenai kecurigaannya terhadap kepailitan Batavia Air. Yang pertama, berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, setiap perusahaan penerbangan diwajibkan memiliki dana cadangan yang memadai. Dalam hal ini berarti bahwa dalam struktur keuangan maskapai penerbangan ada bank garansi yang menjamin. Suharto menuturkan, dengan adanya garansi tersebut, jika terjadi sesuatu seperti kepailitan, sudah ada jaminan bank yang dapat melunasi utang perusahaan penerbangan. Ia yakin Batavia Air memiliki dana cadangan. Tetapi nyatanya, kasus kepailitan Batavia Air tidak dapat dihindari. Lalu yang kedua, kepailitan Batavia Air ini terbilang tiba-tiba. Menurut Suharto, jangka waktu penyelesaian utang Batavia Air tergantung kemauan perusahaan penerbangan itu. Suharto mengatakan, jangka waktu penyelesaian utang bisa dilakukan dalam satu bulan, bahkan satu tahun. “Peluang sengaja dipailitkan, bisa saja,” kata Suharto.
Terlepas dari semua persepsi dan dugaan yang telah diarahkan kepada kasus kepailitan Batavia Air, nyatanya kasus kepailitan Batavia Air ini telah menjadi suatu luka dalam industri transportasi udara di Indonesia yang tidak dapat dihindari. Untuk itu, perlu dilakukan perbaikan sistem keuangan maskapai penerbangan, yang harus dimulai dari regulasi oleh pemerintah.
4.2 Penutup
Pendapat saya pribadi ketika melihat pelanggaran berikut ini adalah Kurangnya pertimbangan dari pihak manajemen Batavia Air untuk mengambil suatu keputusan, apakah yang di sebutkan sebagai pengambilan keputusan sebagai strategi pemenang tender dalam proyek Haji tersebut sudah Pihak Batavia Air sudah mampu bersaing dengan Perusahaan perusahaan Penerbangan lain yang ikut persaing Tender Pemerintah. Jika Tidak mampu menangani proyek pemerintah tersebut tentunya akan menjadi Bomerang bagi pihak manajemen yang sudah mengorbankan asetnya dan terikat janji untuk memenangkan Tender tersebut.
Dengan adanya putusan dari Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, yaitu berupa surat putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No.77/pailit/2012/PN.NIAGA.JKT.PSTtertanggal 30 Januari 2013, maka secara hukum PT. Metro Batavia, yang merupakan perusahaan maskapai penerbangan Batavia Air, dipailitkan. Dan mulai berhenti beroperasi sejak tanggal 31 Januari 2013 pukul 00:00, sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 37 tahun 2004 pasal 24 ayat (2).
4.3 Saran
Batavia harus berinovasi dan memciptakan brand baru tentunya dengan inovasi pelayanan yang diminati pasar saat ini. Kasus Batavia Air bisa menjadi pelajaran bagi industri penerbangan di Tanah air agar dapat lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan sehingga tidak mengakibatkan kerugian yang fatal pada perusahaan itu sendiri.
SUMBER:
https://pralitaputrinoviari.wordpress.com/2015/11/24/pelaggaran-etika-olehn-seorang-auditor-chapter-4/

PELANGGARAN ETIKA OLEH SEORANG AUDITOR (CHAPTER 3)

BAB 3
ANALISIS
3.1 Kronologi Kepailitan Batavia Air
A. Peristiwa menjelang pailitnya Batavia Air
Utang ini bermula dari keinginan Batavia Air untuk mengikuti tender pelayanan haji dengan menyewa (leasing) dua pesawat Airbus A330 dari ILFC. Namun, dari total kontrak leasing selama 9 tahun, sudah 3 tahun berturut-turut Batavia Air kalah tender di Kementerian Agama untuk mengangkut jemaah haji. Dalam gugatan ILFC, Batavia Air memiliki tagihan sebesar USD 440rb di tahun pertama, USD 470rb di tahun kedua, USD 500rb di tahun ketiga dan ke empat, dan USD 520rb di tahun kelima dan keenam. Keseluruhan utang dari ILFC sebesar USD 4,68 juta ini memiliki tanggal jatuh tempo di 13 Desember 2012. Selain gugatan dari ILFC, Batavia Air juga memiliki utang sebesar USD 4,94 juta kepada Sierra Leasing Limited yang jatuh tempo di 13 Desember 2012 juga. Analisa dari OSK Research Sdn Bhd di bulan Oktober 2012 memperkirakan total utang Batavia Air sebesar USD 40juta. Sebagai perusahaan swasta (private corporation) Batavia Air juga tidak memiliki kewajiban untuk memberikan laporan keuangan nya secara publik, sehingga dalam hal ini juga sulit untuk memberikan menyimpulkan kondisi keuangan Batavia Air.
Menurut Dudi Sudibyo, permasalahan ini diperparah dengan ketidak pedulian Batavia Air dalam mendayagunakan kedua pesawat A330 ini untuk melayani rute-rute lain selama menganggur. Barangkali yang juga kurang dipublikasikan di media cetak adalah adanya kenaikan persyaratan deposit Travel Agent di Batavia Air per bulan April 2012. Persyaratan minimum deposit yang sebelumnya sebesar 7.500.000, diubah menjadi minimum 15.000.000 rupiah. Kenaikan deposit ini hanya ditunjang dengan alasan untuk mengurangi “ribet” nya administrasi penambahan deposit.
Di bulan Oktober 2012, Air Asia telah mengajukan rencana untuk mengakuisisi Batavia Air senilai USD 80juta. Rencana akuisisi ini menjadi polemik yang cukup populer di Indonesia karena kekuatiran akan masuk nya pihak luar ke dalam industri penerbagan Nusantara. Namun tidak lama berselang, rencana tersebut kandas dengan keputusan Air Asia untuk membatalkan transaksi tersebut dikarenakan “risiko bisnis dan penurunan pendapatan”.
Menurut Dirjen Perhubungan Udara, Herry Bakti, seusai gagal nya akuisisi Batavia Air oleh Air Asia, rute Batavia Air telah berkurang secara drastis, yang awal nya 64 rute, menjadi 44 rute saja. Namun di tengah pengurangan rute ini, airlines domestik lain malah memperlihatkan penambahan rute yang cukup signifikan, terutama Air Asia, yang mulai merambah ke rute-rute strategis Batavia Air, seperti Semarang-Singapura yang sebelumnya hanya dilayani oleh Batavia Air.
Di penghujung akhir Januari 2013, Batavia Air mulai mengalami penurunan secara drastis, terutama diakibatkan oleh tuntutan pailit oleh ILFC. Kepercayaan calon penumpang pun mulai berkurang, banyak penumpang kuatir akan terulang nya peristiwa tutup nya Adam Air dan Mandala Air. Dalam penutupan dua airlines tersebut, tiket yang sudah dibeli oleh penumpang banyak yg hilang tanpa pengembalian uang. Beberapa hoax messages pun juga banyak beredar di BBM, terutama yang menyangkut akan segera ditutup nya Batavia Air oleh Dirjen Perhubungan.
Tepat sehari menjelang keluarnya putusan pailit oleh pengadilan negeri Jaksel (30 Jan 2013), sempat terjadi pengajuan pencabutan gugatan pailit oleh ILFC. Namun pengajuan pembatalan ini telah ditolak langsung oleh Batavia Air dikarenakan Batavia Air sudah merasakan dampak penurunan kepercayaan publik secara drastis. Batavia Air pun mengakui semua utang-utangnya tersebut. Dengan penolakan ini maka putusan pengadilan negeri Jaksel berlanjut menjadi pailit bagi Batavia Air.
Faktor – faktor yang mungkin penyebab pailitnya Batavia Air, yakni :
1. Sense of crisis
Alasan pertama dari sense of crisis yakni pihak manajerial tidak mampu memahami bahwa kondisi bisnis saat ini tidak pasti, oleh karena itu kepekaan dan ketanggapan bisnis perlu diperhatikan. Dalam aplikasi penggunaan utang sebagai sumber pendanaan maka langkah pertama yang harus ditelaah secara mendalam adalah kemampuan dan kondisi pemasukan bisnis. Sampai di sini dapat ditarik benang merah bahwa sense of crisis perlu mendapatkan perhatian serius dari perusahaan-perusahaan yang berkeinginan bertahan pada kondisi persaingan yang tajam serta penuh ketidakpastian. Lanjut bahwa apabila perusahaan memiliki sense of crisis maka pihak manajerial perusahaan dapat bersikap dengan tepat sebelum bahaya itu terjadi. Dalam kasus Batavia Air, sudah terjadi goncangan barulah mulai memikirkan solusi untuk menyelesaikannya. Tentu saja hal tersebut terlambat dan berakhir dengan pailit.
2. GCG
Seperti yang di ketahui bahwa penerapan tata kelola perusahaan yang baik saat ini tidak dapat diabaikan seperti waktu-waktu sebelumnya dan memang hal itu benar adanya karena melalui tata kelola yang baiklah akan memudahkan proses operasionalisasi dan perbaikan secara kontinyu. Dalam konteks pailitnya Batavia Air perlu mendapatkan perhatian untuk meningkatkan tata kelola perusahaan yang baik.
3. Lemahnya analis C/B
Analisis cost benefit sangat penting ketika suatu perusahaan hendak membuat keputusan menggunakan utang sebagai sumber pendanaan. Karena dari analisis C/B inilah akan membantu memahami kondisi perusahaan dengan lebih baik. Dalam arti akan membuka cakrawala kekuatan melunasi utang serta bagaimana keuntungan lainnya apabila mau menggunakan utang. Dalam konteks Batavia Air ada indikasi bahwa analisis C/B belumlah dilakukan sepenuhnya sehingga analisis utang diabaikan dan mengalami utang yang berlebihan, atau dengan kata lain mengalami kekurangan kemampuan melunasi utang.
4. Harga
Harga memang sangat peka oleh konsumen, karena konsumen cenderung lebih memilih harga yang murah. Dan hal itu memang normal karena lebih kecil jumlah uang untuk mendapatkan suatu barang maka akan semakin baik adanya. Hanya saja dalam konteks Batavia Air, untuk menunjang keberlangsungan arus kas masuk membutuhkan lebih dari hanya sekedar bersaing menggunakan harga sebagai ujung tombak. Dalam arti membutuhkan aspek lainnya selain harga guna memperkuat arus kas masuk sehingga laba ditahan pun dapat meningkat, dan apabila kondisi itu terus berlangsung akan meningkatkan kemampuan melunasi utang.
5. Penggunaan Sumber Pendanaan Berimbang
Maksudnya adalah bagaimana menggunakan sumber Pembiayaan atau kombinasi yang sehat dari dana internal dan dana ekternal. Kasus pailitnya Batavia Air mengindikasikan penggunaan utang yang berelbihan tanpa analisis yang mendalam. Oleh karena itu gunakan persentase dana internal dan eksternal yang bijak yang mana terindikasi dari tidak jangan menggunakan utang sebagai modal utama operasionalisasi. Memang benar bahwa ada juga perusahaan yang menggunakan utang sebagai sumber utama pendanaan yakni perusahaan – perusahaan yang berbisnis dalam bisnis perbankan.
B. Urutan peristiwa bangkrutnya Batavia Air :
  1. Tahun 2009 – Batavia ikut tender dalam proyek haji pemerintah, pihak Batavia telah menyewa dua unit AirBus dari ILFC seri A330 dengan nominal USD 440 ribu. Namun Batavia kalah tender AirBus di anggurkan & tidak melayani rute perjalanan lain.
  2. Tahun 2010 – Batavia mengikuti tender proyek haji lagi dan kalah lagi. Akhirnya menimbulkan penumpukan tagihan dari 2009/2010. Tagihan meningkat menjadi USD 470 ribu. Dan disini dapat di simpulkan bahwa Batavia belum membenahi manajemen dan pelayanannya sehingga pemerintah tidak mengambil maskapai ini.
  3. Tahun 2011 – Batavia mengikuti tender lagi dan lagi – lagi kalah pada tahun ini. Tagihan pun meningkat menjadi USD 500 ribu.
  4. Tahun 2012 – Air Asia mencoba mengakuisisi Batavia Air tapi penawaran tersebut menjadi polemik yang cukup popular di Indonesia karena kekhawatiran akan masuknya pihak luar ke dalam industri penerbangan Nusantara. Maka Air Asia membatalkan tawarannya karena alas an resiko dan penurunan pendapatan. Akibat gagaknya akuisisi tersebut Batavia Air mengalami penurunan rute penerbangan drastic dari 64 rute menjadi 44 rute saja.
  5. Tahun 2013 – Penghujung Januari 2013 Batavia dinyatakan bangkrut oleh Pengadilan Negeri Jakarta.

3.2 Proses penyelesaian pailit oleh kurator
Penyelesaian pailit Batavia Air telah diputuskan untuk diurus oleh empat kurator, antara lain Turman M Panggabean, Permata Nauli Daulay, Andra Reinhard Sirait, dan Alba Sumahadi. Kantor kurator bertempat di Ruko Cempaka Mas B-24, Jl. Letjen Suprapto, Jakarta Pusat.
Beberapa aktifitas yang sudah terjadwal ada sebagai berikut:
  • 15 Feb 2013: Rapat Kreditur di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada pukul 09:00,
  • 18 Feb 2013: Mengundang kreditur non-tiket dan agen untuk mengajukan tagihan kreditur dan pajak di Kantor Kurator,
  • 18 Feb – 1 Maret 2013: Penumpang Batavia Air bisa muendaftarkan diri sebagai kreditur Batavia Air,
  • 14 Maret 2013: Verifikasi dan pencocokan piutang di kantor Kurator.
Namun untuk para pemegang tiket calon penumpang, salah satu Kurator Batavia Air (Turman Panggabean) sudah menyatakan bawah penggantian tiket calon penumpang dapat dilakukan dengan syarat ada investor baru. Jadi sepertinya sudah pupus harapan bagi pemegang tiket untuk bisa mendapatkan uang refund atau pengembalian.

3.3 Undang-Undang yang di langgar oleh Batavia Air
Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan
  1. Pasal 4, hak konsumen adalah :
  • Ayat 1 : “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”.
  • Ayat 3 : “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”.
  1. Pasal 7, kewajiban pelaku usaha adalah :
  • Ayat 2 : “memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”.
  1. Pasal 8
  • Ayat 1 : “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/ataujasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyarat kandan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
  • Ayat 4 : “Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dariperedaran”.
  1. Pasal 19
  • Ayat 1 : “Pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”.
  • Ayat 2: “Ganti rugi sebagai mana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
  • Ayat 3 : “Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal   transaksi”.

3.4 Akibat pailitnya Batavia Air bagi penumpang dan agen travel
Akibat putusan pailit Batavia, beberapa asosiasi travel agent sudah mencatatkan kerugian mencapai milliaran rupiah. Asosiasi Travel Agen Indonesia (Asita) Jakarta dengan anggota sekitar 1500 agen, memperkirakan dana deposit yang hilang mencapai 20 milliar rupiah. Sementara itu, Astindo Sulawesi Tengah mencatat kerugian uang deposit mencapai 500 juta rupiah.
Pasca penutupan Batavia Air, beberapa airlines telah menawarkan bantuan bagi penumpang Batavia Air dengan booking ulang secara cuma-cuma. Tiger Airways (dan Mandala Airlines) telah menawarkan rebooking gratis untuk rute-rute tertentu (CGK-SG, CGK-PKB, CGK-Padang, dan CGK-SUB). Express Air juga mengakomodir penumpang Batavia Air untuk rute Yogyakarta – Pontianak secara gratis.

3.5 Langkah kedepan untuk mencegah terulangnya Batavia Air
Escrow Account untuk deposit travel agent dan tiket yang belum terpakai. Dengan terjadinya kasus pailit Batavia Air, Astindo (Assosiasi Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan) mendesak Departemen Perhubungan untuk membuat peraturan baru dimana deposit travel agent dan deposit tiket yang belum terpakai untuk ditempatkan dalam escrow account atau akun penjaminan yang terpisah dari operasional perusahaan penerbangan. Sehingga dalam kasus-kasus pailit seperti Batavia Air, deposit tersebut dapat diamankan secara terpisah.
Proposal yang kedua adalah kerja sama dari Asosiasi Travel yang telah ada, antara lain Astindo, Asita, maupun assosiasi-assosiasi lain nya, untuk membuat sebuah “early detection system”. Early detection ini dapat menggunakan beberapa indikasi, antara lain: pengurangan rute penerbangan secara signifikan, utang yang mulai gagal bayar, analisa perbandingan uutang dengan aset perusahaan, dll. Dengan fasilitas seperti ini, iuran tahunan assosiasi-assosiasi yang terkadang berjumlah cukup besar menjadi lebih berguna.

3.6 Analisis Hukum / Yuridis
Proses pailit Batavia Air ini dilaksanakan atas suatu dasar hukum, yaitu UU No. 37 tahun 2004, yang mengatur tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Proses awal pailit dimulai dari permohonan pailit yang diajukan oleh ILFC. Permohonan ini telah memenuhi syarat dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 ayat (4) UU No. 37 tahun 2004, yaitu adanya utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, dan adanya kreditur lain. Karena itulah, permohonan ini ditindaklanjuti oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Lalu, proses pembuktian juga memiliki dasar hukum yang kuat, yaitu sesuai dengan pasal 164 HIR. Bukti tersebut yaitu berupa pengakuan yang dilontarkan oleh Batavia Air atas utang-utang yang dimilikinya.
Tak ada kemampuan Batavia dalam membayar utangnya disebabkan karena force majeur, yaitu kalah tender pelayanan transportasi ibadah haji dan umroh ini. Hal ini menjadi biang kerok tersendatnya pembayaran. Karena, pesawat yang disewa tersebut diperuntukkan melayani penumpang yang hendak melakukan ibadah haji dan umrah ke Mekah-Madinah. Sehingga, sumber pembayaran sewa pesawat berasal dari pelayanan penumpang yang melakukan ibadah haji dan umrah. Akan tetapi, dalil force majeur ini tidak dapat dibuktikan dan disetujui karena tidak tercantum dalam perjanjian utangnya dengan ILFC. Perjanjian ini merupakan dasar hukum bagi pelaksanaan utang piutang kedua pihak tersebut. Namun nyatanya, Batavia Air tidak dapat membuktikan dalil tersebut. Untuk itu, majelis hanya mempertimbangkan apa yang dapat dibuktikan saja.
Kepailitan Batavia Air juga memiliki dasar hukum yang kuat, yaitu surat putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No.77/pailit/2012/PN.NIAGA.JKT.PST tertanggal 30 Januari 2013.
SUMBER:
https://pralitaputrinoviari.wordpress.com/2015/11/24/pelaggaran-etika-olehn-seorang-auditor-chapter-3/

PELAGGARAN ETIKA OLEH SEORANG AUDITOR (CHAPTER 2)

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah PT. METRO BATAVIA ( BATAVIA AIR )
Batavia Air (Nama Resmi: PT. Metro Batavia) adalah sebuah maskapai penerbangan di Indonesia. Batavia Air mulai beroperasi pada tanggal 5 januari 2002, memulai dengan 1 buah pesawat fokker F28 dan dua buah Boeing 2737-200.
Setelah berbagai insiden dan kecelakaan menimpa maskapai-maskapai penerbangan di indonesia, pemerintah Indonesia membuat pemeringkatan atas maskapai-maskapai tersebut. Dari hasil pemeringkatan yang diumumkan pada 22 Maret 2007, Batavia Air berada diperingkat III yang berarti hanya memenuhi syarat minimal keselamatan dan masih ada beberapa persyaratan yang belum dilaksanakan dan berpotensi mengurangi tingkat keselamatan penerbangan. Akibatnya Batavia Air mendapat sanksi administratif yang akan di-review kembali setiap 3 bulan. Bila tidak ada perbaikan kinerja maka izin operasi penerbangan dapat di bekukan sewaktu-waktu.
Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Bagus Irawan, menyatakan berdasarkan putusan Nomor 77 mengenai pailit,  PT Metro Batavia (Batavia Air) dinyatakan pailit. “Yang menarik dari persidangan ini, Batavia mengaku tidak bisa membayar utang,” ujarnya, seusai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 30 Januari 2013.
Ia menjelaskan, Batavia Air mengatakan tidak bisa membayar utang karena “force majeur”. Batavia Air menyewa pesawat Airbus dari International Lease Finance Corporation (ILFC) untuk angkutan haji. Namun, Batavia Air kemudian tidak memenuhi persyaratan untuk mengikuti tender yang dilakukan pemerintah.
Gugatan yang diajukan ILFC bernilai US$ 4,68 juta, yang jatuh tempo pada 13 Desember 2012. Karena Batavia Air tidak melakukan pembayaran, maka ILFC mengajukan somasi atau peringatan. Namun akrena maskapai itu tetap tidak bisa membayar utangnya, maka ILFC mengajukan gugatan pailit kepada Batavia Air di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pesawat yang sudah disewa pun menganggur dan tidak dapat dioperasikan untuk menutup utang.
Seharusnya, kata Bagus, kuasa hukum Batavia Air harusnya mengajukan “counter” agar tidak dipailitkan dalam lima hari setelah ada gugatan pailit. “Karena itu tidak dilakukan oleh Batavia, maka kita mau tidak mau menyidangkan perkara pailit,” ujarnya.
Ia pun menjelaskan, dari bukti-bukti yang diajukan ILFC sebagai pemohon, ditemukan bukti adanya utang oleh Batavia Air. Sehingga sesuai aturan normatif, pengadilan menjatuhkan putusan pailit. Ada beberapa pertimbangan pengadilan. Pertimbangan-pertimbangan itu adalah adanya bukti utang, tidak adanya pembayaran utang, serta adanya kreditur lain. Dari semua unsur tersebut, maka ketentuan pada pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan terpenuhi.
Jika menggunakan dalil “force majeur” untuk tidak membayar utang, Batavia Air harus bisa menyebutkan adanya syarat-syarat kondisi itu dalam perjanjian. Namun Batavia Air tidak dapat membuktikannya. Batavia Air pun diberi kesempatan untuk kasasi selama 8 hari. “Kalau tidak mengajukan, maka pailit tetap,” ujarnya.
Kegiatan operasional Batavia Air kemudian akan dialihkan kepada kurator. Batavia Air sempat disebut-sebut menolak dicabutnya gugatan pailit itu. Hal tersebut menjadi tanda tanya bagi pengadilan. “Mengapa mereka menolak untuk dicabut?” ujarnya.
Menurut Bagus, Batavia Air pasrah dengan kondisi ini. Artinya, kata dia, Batavia Air sudah menghitung secara finansial jumlah modal dan utang yang dimiliki. Ia pun menuturkan, dengan dipailitkan, maka direksi Batavia Air tidak bisa berkecimpung lagi di dunia penerbangan.

2.2 KASUS PAILIT PT. METRO BATAVIA ( BATAVIA AIR )
Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Bagus Irawan, menyatakan berdasarkan putusan Nomor 77 mengenai pailit,  PT Metro Batavia (Batavia Air) dinyatakan pailit. “Yang menarik dari persidangan ini, Batavia mengaku tidak bisa membayar utang,” ujarnya, seusai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 30 Januari 2013.
Ia menjelaskan, Batavia Air mengatakan tidak bisa membayar utang karena “force majeur”. Batavia Air menyewa pesawat Airbus dari International Lease Finance Corporation (ILFC) untuk angkutan haji. Namun, Batavia Air kemudian tidak memenuhi persyaratan untuk mengikuti tender yang dilakukan pemerintah.
Gugatan yang diajukan ILFC bernilai US$ 4,68juta, yang jatuh tempo pada 13 Desember 2012. Karena Batavia Air tidak melakukan pembayaran, maka ILFC mengajukan somasi atau peringatan. Namun karena maskapai itu tetap tidak bisa membayar utangnya, maka ILFC mengajukan gugatan pailit kepada Batavia Air di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pesawat yang sudah disewa pun menganggur dan tidak dapat dioperasikan untuk menutup utang.
Dari bukti-bukti yang diajukan ILFC sebagai pemohon, ditemukan bukti dan utang oleh  Batavia Air. Sehingga sesuai aturan normatif, pengadilan menjatuhkan putusan pailit. Ada beberapa pertimbangan pengadilan. Pertimbangan-pertimbangan itu adalah adanya bukti utang, tidak adanya pembayaran utang, serta adanya kreditur lain. Dari semua unsure tersebut, maka ketentuan pada pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan terpenuhi.
Jika menggunakan dalil “force majeur” untuk tidak membayar utang, Batavia Air harus bisa menyebutkan adanya syarat-syarat kondisi itu dalam perjanjian. Namun Batavia Air tidak dapat membuktikannya. Batavia Air pun diberi kesempatan untuk kasasi selama 8 hari. “Kalau tidakmengajukan, maka pailit tetap,”
Batavia Air pasrah dengan kondisi ini. Artinya, kata dia, Batavia Air sudah menghitung secarafinansial jumlah modal dan utang yang dimiliki. Ia pun menuturkan, dengan dipailitkan, maka direksi Batavia Air tidak bisa berkecimpung lagi di dunia penerbangan.
Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Herry Bakti meminta pada Batavia Air untuk memberikan informasi pada seluruh calon penumpang yang sudah  membeli tiket. Agar informasi ini menyebar secara menyeluruh, Batavia Air diharus siaga di bandara seluruh Indonesia, Kamis (31/1).
“Kepada Batavia Air kami minta besok mereka untuk standby di lapangan Bandara di seluruh Indonesia? Untuk member penjelasan dan menangani penumpang-penumpang itu. Jadi kami minta mereka untuk stay di sana,” ujar Herry saat mengelar jumpa pers di kantornya, Jakarta, Rabu malam (30/1).
Herry mengatakan pemberitahuan ini sudah disampaikan kepada Batavia Air. “Kami sudah kirim informasi ini kebandara-bandara yang ada untuk melakukan antisipasi besok di bandara (31/1),” imbuh Herry.
Menurut Herry, meskipun pangsa pasar Batavia Air tidak banyak tapi menurut siaga di bandara itu perlu dilakukan untuk mengantisipasi kebingungan pelanggan serta meminimalisir tudingan-tudingan bahwa pihak Batavia tidak bertanggungjawab.
Pailit atau mengalami kebangkrutan yang terjadi pada Batavia Air disebabkan karena manajemen perusahaan yang tidak handal. Manajamen yang tidak kompeten untuk mengurusi perusahaan dengan benar hanya akan membuat dampak yang negatif bagi perusahaan.
Dari kasus pailitnya Batavia Air dapat dipahami bahwa ada celah pemasukan dan pengeluaran serta bias akan potensi bisnis bahwa semua itu tidak pasti. Oleh karena itu, pemanfaatan celah pasar yang diharapkan oleh pihak manajemen Batavia Air tidak berjalan sesuai rencana. 
Kepailitan, sesuai dengan pasal 1 ayat (1) UU No. 37 tahun 2004, adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Pengadilan yang berwenang dalam proses kepailitan suatu perusahaan adalah Pengadilan Niaga. Menurut UU No. 37 tahun 2004 pasal 2, pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit yaitu:
  1. Debitur atau kreditur
  2. Kejaksaan
  3. Bank Indonesia, apabila debiturnya adalah Bank
  4. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), apabila debiturnya adalah perusahaan efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
  5. Menteri Keuangan, apabila debiturnya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, Dana Pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik.
Suatu permohonan pailit yang diajukan oleh pihak-pihak diatas harus memenuhi persyaratan yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) yaitu adanya utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, dan adanya dua atau lebih kreditur. Dalam kepailitan, ada tiga jenis kreditur, yaitu:
  1. Kreditur separatis, yaitu kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, yang dapat bertindak sendiri. Golongan kreditur ini tidak terkena akibat putusan pernyataan pailit, artinya hak-hak eksekusi mereka tetap dapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan debitur. Kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, dan hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya merupakan karakteristik kreditur separatis,
  2. Kreditur preferen, yaitu kreditur yang memiliki hak istimewa atau hak prioritas. Hak istimewa mengandung makna “hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya.
  3. Kreditur konkuren, yaitu kreditur yang harus berbagi dengan para kreditur lainnya secara proporsional (pari passu), yaitu menurut perbandingan besarnya masing-masing tagihan, dari hasil penjualan harta kekayaan debitur yang tidak dibebani dengan hak jaminan.
Pembayaran utang dengan prioritas paling utama adalah pembayaran utang kepada kreditur separatis. Lalu, prioritas kedua adalah kepada kreditur preferan, dan yang terakhir adalah kepada kreditur konkruen.
Suatu kepailitan tidak terjadi dalam suatu tahap yang mudah dan cepat, tetapi melalui beberapa proses yang cukup panjang. Berikut adalah suatu proses kepailitan suatu debitur:
  1. Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Pengadilan Niaga melalui panitera pengadilan oleh penasehat hukum terdaftar,
  2. Dilakukan penyitaan umum (sita jaminan) atas kekayaan debitur untuk menjamin piutang kreditur,
  3. Setelah pernyataan pailit ditetapkan, ditunjuk hakim pengawas dan kurator (pengurus dan pelaksana kepailitan),
  4. Setelah itu diadakan rapat verifikasi (pencocokan dan klarifikasi piutang) yang melibatkan hakim pengawas, kurator, kreditur terkait, dan debitur,
  5. Jika usul perdamaian debitur diterima (homologasi), kepailitan berakhir dan sisa tagihan yang belum terbayar tidak dapat ditagih lagi,
  6. Jika usul perdamaian ditolak, Pengadilan Niaga sekaligus menetapkan putusan pailit debitur dan kekayaan debitur berada dalam keadaan insolvensi (debitur tidak mampu membayar utangnya dan kekayaannya menjadi harta pailit),
  7. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari sejak putusan pailit ditetapkan, kurator harus mengumumnkannya dalam Berita Ngera RI dan dua surat kabar yang ditetapkan oleh hakim pengawas,
  8. Jika pihak terkait tidak mengusulkan kurator tertentu, Balai Harta Peninggalan (BHP) bertindak sebagai kurator dalm proses kepailitan
  9. Untuk kepentingan harta pailit, dapat dimintakan pembatalan perbuatan debitur sebelum putusan pailit, yang merugikan kepentingan kreditur,
  10. Apabila piutang kreditur tidak cukup terbayar, untuk sisanya, status kreditur separatis berubah menjadi kreditur konkruen,
  11. Terhadap putusan pailit dapat diajukan langsung kasasi ke Mahkamah Agung dan permohonan peninjauan kembali (PK) apabila memenuhi syarat.

SUMBER:
https://pralitaputrinoviari.wordpress.com/2015/11/24/pelaggaran-etika-olehn-seorang-auditor-chapter-2/